Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host - Bab 33

DIRAGUKAN



Kembali terdengar suara tercebur. Bobot Kyle menyiksa lenganku.
“Wanda? Wanda!”.
“Tolong! Kyle! Lantainya! Tolong!”
Wajahku menekan batu pilar, mataku mengarah ke lubang masuk gua. Cahaya di atas kepala menyorot terang ketika fajar menyingsing. Aku menahan napas. Kedua lenganku seakan berteriak.
“Wanda! Kau di mana?”
Ian melompat melewati pintu. Senapan ada di kedua tangannya. Posisinya rendah dan siaga. Wajah Ian berupa topeng kemarahan yang tadi dikenakan kakaknya.
“Awas!” teriakku. “Lantainya runtuh! Aku tak bisa menahan Kyle lebih lama lagi!”
Perlu dua detik yang lama bagi Ian untuk mencerna adegan yang begitu berbeda dengan adegan yang tadi diharapkannya: Kyle mencoba membunuhku. Adegan itu baru saja berakhir beberapa detik yang lalu.
Lalu Ian melempar senapIan  itu ke lantai gua dan berjalan ke arahku dengan langkah panjang.
“Merangkak—sebarkan bobot tubuhmu!”
Ian menjatuhkan tubuhnya, lalu merangkak menghampiriku, matanya membara dalam cahaya fajar.
“Jangan dilepaskan,” ujarnya mengingatkan.
Aku mengerang kesakitan.
Ian menilai situasinya sedetik lagi, lalu merapatkan tubuhnya di belakang tubuhku, mendorongku semakin rapat pada pilar. Lengannya lebih panjang. Bahkan dengan tubuhku di tengah-tengah, ia mampu merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kakaknya.
“Satu, dua, tiga,” geram Ian.
Ian menarik Kyle ke pilar, jauh lebih aman daripada yang kulakukan. Gerakan Ian menekan wajahku ke pilar. Tapi itu sisi wajahku yang cedera—tak mngkin bisa lebih parah lagi saat ini.
“Aku akan menariknya ke sisi sebelah sini. Kau bisa menyelinap keluar?”
“Akan kucoba.”
Kulonggarkan peganganku pada Kyle, merasakan nyeri yang melegakan di bahuku, dan kupastikan Ian memegangi tubuh Kyle. Lalu aku menggeliat keluar dari antara Ian dan pilar, berhati-hati agar tidak meletakkan diriku di bagian lantai yang berbahaya. Aku merangkak mundur beberapa puluh sentimeter menuju pintu, siap mencengkeram Ian seandainya ia mulai tergelincir.
Ian menarik kakaknya yang tak sadarkan diri ke sisi lain pilar, menyeretnya dengan tersentak-sentak, tiga puluh sentimeter setiap sentakan. Semakin banyak lantai yang ambruk, tapi fondasi pilar tetap utuh. Terbentuk lapisan baru sekitar enam puluh sentimeter dari kolam batu.
Ian merangkak mundur seperti yang kulakukan, menyeret kakaknya dengan sentakan-sentakan pendek otot dan kemauan keras. Dalam hitungan menit kami bertiga sudah berada di mulut koridor, aku dan Ian tersengal-sengal.
“Apa… yang… terjadi?”
“Bobot kami… terlalu… berat. Lantainya runtuh.”
“Apa yang kaulakukan… di pinggirnya? Bersama Kyle?”
Aku menunduk, dan aku berkonsentrasi pada napasku.
Nah, katakan kepadanya.
Lalu apa yang akan terjadi?
Kau tahu apa yang akan terjadi. Kyle melanggar peraturan. Jeb akan menembaknya, atau mereka akan menendangnya keluar. Mungkin Ian akan menghajarnya lebih dulu. Itu akan menyenangkan untuk dilihat.
Melanie tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya—bagaimanapun, aku menganggapnya begitu. Ia hanya marah kepadaku karena mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan calon pembunuh kami.
Tepat sekali, kataku kepadanya. Dan seandainya mereka menendang Kyle keluar karena diriku… atau membunuhnya… Aku bergidik. Nah, tidakkah kau bisa melihat betapa tidak masuk akalnya itu? Kyle salah satu dari kalian.
Kita punya kehidupan di sini, Wanda. Dan kau membahayakan kehidupan itu.
Itu kehidupanku juga. Dan aku… well, aku adalah aku.
Melanie mengerang muak.
“Wanda?” desak Ian.
“Tak ada,” gumamku.
“Kau pembohong yang payah. Kau tahu itu, kan?”
 Aku tetap menunduk dan bernapas.
“Apa yang dilakukan Kyle?”
“Tak ada,” ujarku berbohong. Dengan buruk.
Ian meletakkan tangannya ke bawah daguku, mendongakkan wajahku. “Hidungmu berdarah.” Ia memiringkan kepalaku ke samping. “Dan ada lebih banyak darah di rambutmu.”
“Aku—kepalaku terbentur ketika lantainya runtuh.”
“Di kedua sisi?”
Aku mengangkat bahu.
Ian memelototiku cukup lama. Kegelapan terowongan membuat kilatan matanya suram.
“Kita harus mengantar Kyle kepada Doc—kepalanya terbentur keras sekali ketika terjatuh.”
“Mengapa kau melindunginya? Dia mencoba membunuhmu.”
Itu pernyataan berdasarkan fakta, bukan pertanyaan. Wajah Ian pelan – pelan berubah dari marah jadi takut. Ia sedang membayangkan apa yang kami lakukan di lapisan tidak stabil itu—bisa kulihat hal itu di matanya. Ketika aku tidak menjawab ia bicara lagi dengan berbisik. “Kyle hendak melemparkanmu ke dalam sungai….” Getaran aneh mengguncang tubuhnya.
Ian memeluk Kyle dengan sebelah lengan—dan roboh dengan posisi seperti itu, tampaknya terlalu lelah untuk bergerak. Kini Ian mendorong tubuh tak sadar kakaknya dengan kasar, lalu menjauh dengan jijik. Ia mendekatiku dan memeluk bahuku. Ditariknya tubuhku ke dadanya—bisa kurasakan napasnya keluar-masuk, masih terengah-engah.
Rasanya sangat aneh.
“Seharusnya kugulingkan Kyle kembali ke sana, lalu kutendang dari pinggir lubang.”
Aku menggeleng panik, kepalaku berdenyut-denyut nyeri. “Tidak.”
“Menghemat waktu. Jeb sudah menjelaskan peraturannya. Jika mencoba melukai seseorang di sini, akan ada hukuman. Akan ada pengadilan.”
Aku mencoba melepaskan diri dari Ian, tapi ia mempererat pelukannya. Tidak menakutkan, tidak seperti cara Kyle mencengkeramku, tapi mengkhawatirkan—merusak keseimbanganku. “Tidak. Kau tak bisa melakukannya, karena tak seorang pun melanggar peraturan. Lantainya runtuh. Itu saja.”
“Wanda—“
“Kyle kakakmu.”
“Dia tahu apa yang dia lakukan. Ya. Dia kakakku, tapi dia melakukan apa yang dilakukannya, dan kau… kau… temanku.”
“Dia tidak melakukan apa-apa. Dia manusia,” bisikku.” Ini tempatnya, bukan tempatku.”
“Kita tidak akan membahas ini lagi. Definisimu mengenai manusia tidak sama dengan definisiku. Bagimu, manusia berarti sesuatu yang… negatf. Bagiku, itu pujian. Dan berdasarkan definisiku, kau manusia dan Kyle bukan. Tidak lagi, setelah kejadian ini.”
“Manusia tidak berarti negative bagiku. Aku sudah mengenal kalian sekarang. Tapi, Ian, dia kakakmu.”
“Fakta yang membuatku malu.”
Kudorong kembali tubuhku dari Ian. Kali ini ia melepaskanku. Mungkin ada hubungannya dengan erang kesakitan yang keluar dari bibirku ketika aku menggerakkan kaki.
“Kau baik-baik saja?”
“Kurasa begitu. Kita perlu mencari Doc, tapi aku tak tahu apakah aku bisa jalan. Aku—kakiku terbentur ketika aku terjatuh.”
Suara geraman mencekik tenggorokan Ian. “Kaki yang mana? Biar kulihat.”
Aku mencoba meluruskan kakiku yang cedera—sebelah kanan—dan kembali mengerang. Ian meraba-raba pergelangan kakiku, memeriksa tulang dan persendian. Ia memutar pergelangan kakiku dengan hati-hati.
“Lebih ke atas. Di sini.” Kutarik tangannya ke belakang paha, persis di atas lutut. Aku kembali mengerang ketika Ian menekan bagian yang sakit. “Kurasa tidak patah atau semacam itu. Hanya rasanya sakit sekali.”
“Setidaknya memar otot yang parah,” gumam Ian. “Dan bagaimana terjadinya?”
“Sepertinya… aku mendarat di atas batu ketika terjatuh.”
Ian mendesah. “Oke, ayo pergi menemui Doc.”
“Kyle lebih memerlukan Doc daripadaku.”
“Bagaimanapun, aku harus mencari Doc—atau bantuan. Aku tidak bisa membopong Kyle sejauh itu, tapi aku pasti bisa membopongmu. Uups—tunggu.”
Ian berbalik cepat, lalu merunduk kembali ke dalam ruang bersungai. Aku memutuskan untuk tidak membantah. Aku ingin menemui Walter sebelum… Doc sudah berjanji akan menungguku. Apakah dosis pertama penghilang nyeri itu begitu cepat menghilang?  Kepalaku melayang-layang. Ada begitu banyak kekhawatiran, dan aku sangat lelah. Adrenalinnya sudah habis, meninggalkanku dalam kehampaan.
Ian kembali dengan senapan. Aku memberengut, karena ini mengingatkanku bahwa aku tadi mengharapkan benda itu. Aku tidak suka itu.
“Ayo, pergi.”
Tanpa berpikir Ian menyerahkan senapan kepadaku. Kubiarkan benda itu jatuh ke telapak tanganku yang terbuka, tapi aku tak mampu menggenggamnya. Kuputuskan bahwa keharusan membawa senapan merupakan hukuman yang sesuai untukku.
Ian tergelak. “Bagaimana mungkin orang bisa takut padamu…,” gumamnya kepada diri sendiri.
Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, dan langsung bergerak sebelum aku siap. Aku berusaha agar bagian-bagian tubuhku yang paling peka—tengkukku, bagian belakang kakiku—tidak terlalu keras menekan tubuh Ian.
“Kok pakaianmu bisa sebasah ini?” tanyanya. Kami sedang lewat di bawah salah satu lubang cahaya seukuran kepalan tangan, dan aku bisa melihat sedikit senyum masam di bibir Ian yang pucat.
“Aku tak tahu,” gumamku. “Uap?”
Kami kembali melintasi kegelapan.
“Sepatumu hilang satu.”
“Oh.”
Kami melewati sorotan cahaya lagi, dan mata Ian berkilat-kilat biru safir. Mata itu kini serius, terpaku pada wajahku.
“Aku… sangat senang kau tidak cedera, Wanda. Cedera lebih parah, maksudku.”
Aku tidak menjawab. Aku takut memberinya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang Kyle.
Jeb menemukan kami tepat sebelum kami memasuki ruang gua besar. Ada cukup banyak cahaya bagiku untuk menangkap kilau tajam rasa penasaran di matanya ketika melihatku di pelukan Ian, dengan wajah berdarah, dan senapan tergeletak di kedua tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kau benar,” tebak Jeb. Rasa penasarannya kuat, tapi nada dingin di dalam suaranya lebih kuat. Rahangnya terkatup di balik janggut. “Aku tidak mendengar suara tembakan. Kyle?”
“Dia tak sadarkan diri,” ujarku cepat-cepat. “Kau perlu memperingatkan semua orang—sebagian lantai runtuh di ruang bersungai. Aku tidak tahu seberapa stabilnya lantai itu sekarang. Kepala Kyle terbentur sangat keras ketika berusaha menyingkir. Dia perlu Doc.”
mengangkat sebelah alisnya sangat tinggi, sampai nyaris menyentuh bandana pudar di garis rambutnya.
“Itu versi Wanda,” ujar Ian, tanpa berusaha menyembunyikan keraguannya. “Dan sepertinya dia memegangnya dengan teguh.”
Jeb tertawa. “Biar kuambil benda itu dari tanganmu,” katanya kepadaku.
Dengan senang hati kubiarkan Jeb mengambil senapannya. Ia tertawa melihat ekspresiku.
“Aku akan mengajak Andy dan Brandt membantuku membawa Kyle. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Awasi Kyle ketika tersadar,” ujar Ian dengan nada keras.
“Pasti.”
Jeb pergi mencari lebih banyak bantuan. Ian bergegas membawaku ke gua rumah sakit.
“Kyle mungkin terluka parah… Jeb harus bergegas.”                                                                                                                       
“Kepala Kyle lebih keras daripada semua batu di tempat ini.”
Terowongan panjang itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Apakah Kyle sekarat walaupun aku sudah berusaha menyelamatkannya? Apakah ia kembali tersadar dan mencariku? Bagaimana dengan Walter? Apakah ia sedang tidur… atau sudah pergi? Apakah Pencari sudah menghentikan perburuannya, atau apakah ia akan kembali, karena sekarang hari sudah kembali terang?
Apakah Jared masih bersama Doc? Melanie bertanya. Apakah ia bakal marah ketika melihatmu? Akankah ia mengenaliku?
Ketika kami mencapai gua selatan yang diterangi cahaya matahari, Jared dan Doc tampak seakan-akan belum banyak bergerak. Mereka bersandar, berdampingan, di meja buatan Doc. Keadaan hening ketika kami mendekat. Mereka tidak bicara, hanya mengamati Walter tidur. Mereka terlompat dengan mata terbelalak ketika Ian membopongku ke dalam cahaya dan membaringkanku di dipan di samping Walter. Ia meluruskan kaki kananku dengan hati-hati.
Walter sedang mendengkur. Suara itu mengurangi sebagian keteganganku.
“Ada apa lagi ini?” desak Doc marah. Setelah melontarkan kata-kata itu ia langsung membungkuk di atas tubuhku. Lalu mengusap darah di pipiku.
Wajah Jared terpaku kaget. Ia berhati-hati, tidak membiarkan ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Kyle,” jawab Ian, pada saat yang sama ketika aku mengucapkan, “Lantainya—“
Doc memandang kami silih berganti, kebingungan.
Ian mendesah dan memutar bola mata. Tanpa sadar ia menyentuh ringan keningku. “Lantainya runtuh di dekat lubang sungai pertama. Kyle jatuh dan kepalanya menghantam batu. Wanda menyelamatkan hidupnya yang tak berguna itu. Menurut Wanda, dia juga terjatuh ketika lantainya runtuh.” Ian memandang Doc penuh arti. “Sesuatu,” diucapkannya kata itu dengan nada menyindir,” menghantam bagian kepala Wanda cukup keras.” Ian mulai menyebutkannya satu per satu. “Hidungnya berdarah, tapi kurasa tidak patah. Ototnya terluka di sini.” Ia menyentuh pahaku yang cedera. “Kedua lututnya tergores cukup parah. Juga wajahnya, sekali lagi, tapi kurasa aku yang melakukannya, ketika mencoba menarik Kyle keluar dari lubang. Seharusnya aku tak perlu repot-repot.” Ian menggumamkan bagian terakhir itu.
“Ada lagi?” Tanya Doc. Jari-jarinya meraba sisi tubuhku, dan mencapai bagian yang dipukul Kyle. Aku menghela napas kesakitan.
Doc menarik kemejaku ke atas, dan kudengar Ian serta Jared mendesis ketika melihatnya.
“Biar kutebak,” ujar Ian dengan suara sedingin es. “Kau terjatuh di atas batu.”
“Tebakan jitu,” kataku mengiyakan, kehabisan napas. Doc masih menyentuh sisi tubuhku, dan aku mencoba menahan erangan.
“Mungkin rusuknya ada yang patah, aku tak yakin,” gumam Doc. “Kuharap aku bisa memberimu sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya—“
“Jangan khawatir, Doc,” ujarku terengah-engah. “Aku baik-baik saja. Bagaimana Walter? Apakah dia terbangun?”
“Tidak. Perlu beberapa waktu untuk menghilangkan dosisinya,” ujar Doc. Ia meraih tanganku dan mulai menekuk pergelangan tangan dan sikuku.
“Aku baik-baik saja.”
Mata Doc yang baik hati tampak lembut ketika membalas tatapanku. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu beristirahat selama beberapa waktu. Aku akan mengawasimu. Nah, tengokkan kepalamu.”
Aku mematuhi permintaannya, lalu mengernyit ketika Doc meneliti lukaku.
“Jangan di sini,” gumam Ian.
Aku tidak bisa melihat Doc, tapi Jared memandang Ian dengan tajam.
“Mereka akan membawa Kyle ke sini. Aku tidak mau Wanda dan Kyle berada di ruangan yang sama.”
Doc mengangguk. “Mungkin itu bijaksana.”
“Akan kusiapkan tempat untuk Wanda. Aku memerlukanmu untuk mengawasi Kyle di sini sampai… sampai kita putuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”
Aku mulai bicara, tapi Ian meletakkan jemarinya di bibirku.
“Baiklah,” ujar Doc setuju. “Aku akan mengikat Kyle, jika kau mau.”
“Jika perlu. Apakah tidak apa-apa memindahkan Wanda?” Ian melirih kea rah terowongan, wajahnya cemas.
Doc bimbang.
“Tidak,” bisikku. Jemari Ian masih menyentuh bibirku. “Walter. Aku ingin berada di sini untuk  Walter.”
“Kau telah menyelamatkan semua kehidupan yang bisa kau selamatkan hari ini, Wanda,” ujar Ian. Suaranya lembut dan sedih.
“Aku ingin mengucapkan… mengucapkan selamat—selamat tinggal.”
Ian mengangguk. Lalu ia memandang Jared. “Bisakah aku memercayaimu?”
Wajah Jared memerah karena amarah. Ian mengangkat tangan. “Aku tak ingin meninggalkan Wanda di sini tanpa perlindungan, sementara aku mencari tempat yang aman untuknya,” ujar Ian.
“Aku tidak tahu apakah Kyle dalam keadaan sadar ketika tiba. Seandainya Jeb menembaknya, itu akan membuat Wanda sedih. Tapi kau dan Doc harus bisa menangani Kyle. Aku tidak ingin Doc sendirian, dan memaksa Jeb melakukannya.”
Jared bicara dengan gigi dikertakkan. “Doc tidak akan sendirian.”
Ian bimbang. “Wanda mengalami hal-hal sangat buruk beberapa hari terakhir. Ingat itu.”
Jared mengangguk, dengan gigi masih dikertakkan.
“Aku akan berada di sini,” ujar Doc mengingatkan Ian.
Ian membalas tatapan Doc. “Oke.” Ia membungkuk di atas tubuhku, mata cemerlangnya menatapku. “Aku akan segera kembali. Jangan takut.”
“Aku tidak takut.”
Ian membungkuk dan menyentuhkan bibirnya di keningku.
Tak seorang pun lebih terkejut daripada aku, walaupun aku mendengar Jared diam-diam menghela napas kaget. Mulutku terbuka ketika Ian bergegas pergi, nyaris berlari, dari ruangan itu.
Kudengar Doc menghela napas melalui sela-sela gigi, seperti siulan terbalik. “Well,” katanya.
Mereka menatapku untuk waku lama. Aku begitu lelah dan sakit sehingga nyaris tak memedulikan apa yang mereka pikirkan.
“Doc—“ Jared mulai mengucapkan sesuatu dengan nada mendesak, tapi keributan di dalam terowongan mengganggunya.
Lima lelaki berjuang melewati lubang pintu. Jeb di depan, memegangi kaki kiri Kyle dengan dua tangan. Wes memegangi kaki kanan Kyle, dan di belakang mereka, Andy dan Aaron berjuang mengangkat dada Kyle. Kepala Kyle terkulai ke belakang di bahu Andy.
“Astaga, berat sekali,” gerutu Jeb.
Jared dan Doc melompat maju untuk membantu. Setelah beberapa menit memaki dan mengerang, Kyle terbaring di dipan beberapa puluh sentimeter dari dipanku.j
“Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, Wanda?” Tanya Doc kepadaku. Ia membuka kelopak mata Kyle, membiarkan cahaya matahari menyinari pupil matanya.
“Um…” aku berpikir cepat. “Sama lamanya dengan keberadaanku disini, ditambah sepuluh menit atau lebih yang diperlukan Ian untuk membawaku kemari, dan mungkin lima menit lagi sebelum itu.”
“Setidaknya dua puluh menit, menurutmu?”
“Ya. Kira-kira selama itu.”
Sementara kami bercakap-cakap, Jeb telah membuat diagnosisnya sendiri. Tak seorang pun memperhatikan ketika Jeb berdiri di ujung atas dipan Kyle. Tak seorang pun memperhatikan—sampai ia menuang sebotol air ke wajah Kyle.
“Jeb,” keluh Doc, seraya menyingkirkan tangan Jeb.
Tapi Kyle terbatuk-batuk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengerang. “Apa yang terjadi? Ke mana makhluk itu pergi?” Ia mulai menggeser tubuhnya, mencoba melihat sekeliling. “Lantainya… bergerak…”
Suara Kyle membuat jemariku mencengkeram sisi dipan, dan kepanikan menyapu wajahku. Kakiku sakit. Bisakah aku pergi dengan terpincang-pincang? Pelan-pelan mungkin…
“Tidak apa-apa,” gumam seseorang. Bukan seseorang. Aku akan selalu mengenali suara itu.
Jared bergerak, berdiri di antara dipanku dan dipan Kyle. Punggungnya menghadapku, matanya terarah pada lelaki bongsor itu. Kyle menggerakkan kepalanya sambal mengerang.
“Kau aman,” ujar Jared pelan. Ia tidak memandangku. “Jangan takut.”                  
Aku menghela napas panjang.
Melanie ingin menyentuh Jared. Tangan lelaki itu berada di dekat tanganku, tergeletak di pinggir dipanku.
Kumohon, jangan, ujarku kepadanya. Wajahku sudah cukup sakit!
Jared tidak akan memukulmu.
Menurutmu. Aku tidak mau mengambil risiko.
Melanie mendesah; ia ingin mendekati Jared. Takkan terlalu berat untuk ditanggungkan, seandainya aku tidak menginginkan hal yang sama.
Melanie kembali mendesah.
“Aw, sialan!” gerutu Kyle. Pandanganku beralih kepadanya, ketika mendengar nada suaranya. Aku hanya bisa melihat mata cemerlangnya, di sekitar siku jared, terpusat padaku. “Makhluk itu tidak terjatuh!” keluhnya.






0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host - Bab 33

DIRAGUKAN



Kembali terdengar suara tercebur. Bobot Kyle menyiksa lenganku.
“Wanda? Wanda!”.
“Tolong! Kyle! Lantainya! Tolong!”
Wajahku menekan batu pilar, mataku mengarah ke lubang masuk gua. Cahaya di atas kepala menyorot terang ketika fajar menyingsing. Aku menahan napas. Kedua lenganku seakan berteriak.
“Wanda! Kau di mana?”
Ian melompat melewati pintu. Senapan ada di kedua tangannya. Posisinya rendah dan siaga. Wajah Ian berupa topeng kemarahan yang tadi dikenakan kakaknya.
“Awas!” teriakku. “Lantainya runtuh! Aku tak bisa menahan Kyle lebih lama lagi!”
Perlu dua detik yang lama bagi Ian untuk mencerna adegan yang begitu berbeda dengan adegan yang tadi diharapkannya: Kyle mencoba membunuhku. Adegan itu baru saja berakhir beberapa detik yang lalu.
Lalu Ian melempar senapIan  itu ke lantai gua dan berjalan ke arahku dengan langkah panjang.
“Merangkak—sebarkan bobot tubuhmu!”
Ian menjatuhkan tubuhnya, lalu merangkak menghampiriku, matanya membara dalam cahaya fajar.
“Jangan dilepaskan,” ujarnya mengingatkan.
Aku mengerang kesakitan.
Ian menilai situasinya sedetik lagi, lalu merapatkan tubuhnya di belakang tubuhku, mendorongku semakin rapat pada pilar. Lengannya lebih panjang. Bahkan dengan tubuhku di tengah-tengah, ia mampu merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kakaknya.
“Satu, dua, tiga,” geram Ian.
Ian menarik Kyle ke pilar, jauh lebih aman daripada yang kulakukan. Gerakan Ian menekan wajahku ke pilar. Tapi itu sisi wajahku yang cedera—tak mngkin bisa lebih parah lagi saat ini.
“Aku akan menariknya ke sisi sebelah sini. Kau bisa menyelinap keluar?”
“Akan kucoba.”
Kulonggarkan peganganku pada Kyle, merasakan nyeri yang melegakan di bahuku, dan kupastikan Ian memegangi tubuh Kyle. Lalu aku menggeliat keluar dari antara Ian dan pilar, berhati-hati agar tidak meletakkan diriku di bagian lantai yang berbahaya. Aku merangkak mundur beberapa puluh sentimeter menuju pintu, siap mencengkeram Ian seandainya ia mulai tergelincir.
Ian menarik kakaknya yang tak sadarkan diri ke sisi lain pilar, menyeretnya dengan tersentak-sentak, tiga puluh sentimeter setiap sentakan. Semakin banyak lantai yang ambruk, tapi fondasi pilar tetap utuh. Terbentuk lapisan baru sekitar enam puluh sentimeter dari kolam batu.
Ian merangkak mundur seperti yang kulakukan, menyeret kakaknya dengan sentakan-sentakan pendek otot dan kemauan keras. Dalam hitungan menit kami bertiga sudah berada di mulut koridor, aku dan Ian tersengal-sengal.
“Apa… yang… terjadi?”
“Bobot kami… terlalu… berat. Lantainya runtuh.”
“Apa yang kaulakukan… di pinggirnya? Bersama Kyle?”
Aku menunduk, dan aku berkonsentrasi pada napasku.
Nah, katakan kepadanya.
Lalu apa yang akan terjadi?
Kau tahu apa yang akan terjadi. Kyle melanggar peraturan. Jeb akan menembaknya, atau mereka akan menendangnya keluar. Mungkin Ian akan menghajarnya lebih dulu. Itu akan menyenangkan untuk dilihat.
Melanie tidak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya—bagaimanapun, aku menganggapnya begitu. Ia hanya marah kepadaku karena mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan calon pembunuh kami.
Tepat sekali, kataku kepadanya. Dan seandainya mereka menendang Kyle keluar karena diriku… atau membunuhnya… Aku bergidik. Nah, tidakkah kau bisa melihat betapa tidak masuk akalnya itu? Kyle salah satu dari kalian.
Kita punya kehidupan di sini, Wanda. Dan kau membahayakan kehidupan itu.
Itu kehidupanku juga. Dan aku… well, aku adalah aku.
Melanie mengerang muak.
“Wanda?” desak Ian.
“Tak ada,” gumamku.
“Kau pembohong yang payah. Kau tahu itu, kan?”
 Aku tetap menunduk dan bernapas.
“Apa yang dilakukan Kyle?”
“Tak ada,” ujarku berbohong. Dengan buruk.
Ian meletakkan tangannya ke bawah daguku, mendongakkan wajahku. “Hidungmu berdarah.” Ia memiringkan kepalaku ke samping. “Dan ada lebih banyak darah di rambutmu.”
“Aku—kepalaku terbentur ketika lantainya runtuh.”
“Di kedua sisi?”
Aku mengangkat bahu.
Ian memelototiku cukup lama. Kegelapan terowongan membuat kilatan matanya suram.
“Kita harus mengantar Kyle kepada Doc—kepalanya terbentur keras sekali ketika terjatuh.”
“Mengapa kau melindunginya? Dia mencoba membunuhmu.”
Itu pernyataan berdasarkan fakta, bukan pertanyaan. Wajah Ian pelan – pelan berubah dari marah jadi takut. Ia sedang membayangkan apa yang kami lakukan di lapisan tidak stabil itu—bisa kulihat hal itu di matanya. Ketika aku tidak menjawab ia bicara lagi dengan berbisik. “Kyle hendak melemparkanmu ke dalam sungai….” Getaran aneh mengguncang tubuhnya.
Ian memeluk Kyle dengan sebelah lengan—dan roboh dengan posisi seperti itu, tampaknya terlalu lelah untuk bergerak. Kini Ian mendorong tubuh tak sadar kakaknya dengan kasar, lalu menjauh dengan jijik. Ia mendekatiku dan memeluk bahuku. Ditariknya tubuhku ke dadanya—bisa kurasakan napasnya keluar-masuk, masih terengah-engah.
Rasanya sangat aneh.
“Seharusnya kugulingkan Kyle kembali ke sana, lalu kutendang dari pinggir lubang.”
Aku menggeleng panik, kepalaku berdenyut-denyut nyeri. “Tidak.”
“Menghemat waktu. Jeb sudah menjelaskan peraturannya. Jika mencoba melukai seseorang di sini, akan ada hukuman. Akan ada pengadilan.”
Aku mencoba melepaskan diri dari Ian, tapi ia mempererat pelukannya. Tidak menakutkan, tidak seperti cara Kyle mencengkeramku, tapi mengkhawatirkan—merusak keseimbanganku. “Tidak. Kau tak bisa melakukannya, karena tak seorang pun melanggar peraturan. Lantainya runtuh. Itu saja.”
“Wanda—“
“Kyle kakakmu.”
“Dia tahu apa yang dia lakukan. Ya. Dia kakakku, tapi dia melakukan apa yang dilakukannya, dan kau… kau… temanku.”
“Dia tidak melakukan apa-apa. Dia manusia,” bisikku.” Ini tempatnya, bukan tempatku.”
“Kita tidak akan membahas ini lagi. Definisimu mengenai manusia tidak sama dengan definisiku. Bagimu, manusia berarti sesuatu yang… negatf. Bagiku, itu pujian. Dan berdasarkan definisiku, kau manusia dan Kyle bukan. Tidak lagi, setelah kejadian ini.”
“Manusia tidak berarti negative bagiku. Aku sudah mengenal kalian sekarang. Tapi, Ian, dia kakakmu.”
“Fakta yang membuatku malu.”
Kudorong kembali tubuhku dari Ian. Kali ini ia melepaskanku. Mungkin ada hubungannya dengan erang kesakitan yang keluar dari bibirku ketika aku menggerakkan kaki.
“Kau baik-baik saja?”
“Kurasa begitu. Kita perlu mencari Doc, tapi aku tak tahu apakah aku bisa jalan. Aku—kakiku terbentur ketika aku terjatuh.”
Suara geraman mencekik tenggorokan Ian. “Kaki yang mana? Biar kulihat.”
Aku mencoba meluruskan kakiku yang cedera—sebelah kanan—dan kembali mengerang. Ian meraba-raba pergelangan kakiku, memeriksa tulang dan persendian. Ia memutar pergelangan kakiku dengan hati-hati.
“Lebih ke atas. Di sini.” Kutarik tangannya ke belakang paha, persis di atas lutut. Aku kembali mengerang ketika Ian menekan bagian yang sakit. “Kurasa tidak patah atau semacam itu. Hanya rasanya sakit sekali.”
“Setidaknya memar otot yang parah,” gumam Ian. “Dan bagaimana terjadinya?”
“Sepertinya… aku mendarat di atas batu ketika terjatuh.”
Ian mendesah. “Oke, ayo pergi menemui Doc.”
“Kyle lebih memerlukan Doc daripadaku.”
“Bagaimanapun, aku harus mencari Doc—atau bantuan. Aku tidak bisa membopong Kyle sejauh itu, tapi aku pasti bisa membopongmu. Uups—tunggu.”
Ian berbalik cepat, lalu merunduk kembali ke dalam ruang bersungai. Aku memutuskan untuk tidak membantah. Aku ingin menemui Walter sebelum… Doc sudah berjanji akan menungguku. Apakah dosis pertama penghilang nyeri itu begitu cepat menghilang?  Kepalaku melayang-layang. Ada begitu banyak kekhawatiran, dan aku sangat lelah. Adrenalinnya sudah habis, meninggalkanku dalam kehampaan.
Ian kembali dengan senapan. Aku memberengut, karena ini mengingatkanku bahwa aku tadi mengharapkan benda itu. Aku tidak suka itu.
“Ayo, pergi.”
Tanpa berpikir Ian menyerahkan senapan kepadaku. Kubiarkan benda itu jatuh ke telapak tanganku yang terbuka, tapi aku tak mampu menggenggamnya. Kuputuskan bahwa keharusan membawa senapan merupakan hukuman yang sesuai untukku.
Ian tergelak. “Bagaimana mungkin orang bisa takut padamu…,” gumamnya kepada diri sendiri.
Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, dan langsung bergerak sebelum aku siap. Aku berusaha agar bagian-bagian tubuhku yang paling peka—tengkukku, bagian belakang kakiku—tidak terlalu keras menekan tubuh Ian.
“Kok pakaianmu bisa sebasah ini?” tanyanya. Kami sedang lewat di bawah salah satu lubang cahaya seukuran kepalan tangan, dan aku bisa melihat sedikit senyum masam di bibir Ian yang pucat.
“Aku tak tahu,” gumamku. “Uap?”
Kami kembali melintasi kegelapan.
“Sepatumu hilang satu.”
“Oh.”
Kami melewati sorotan cahaya lagi, dan mata Ian berkilat-kilat biru safir. Mata itu kini serius, terpaku pada wajahku.
“Aku… sangat senang kau tidak cedera, Wanda. Cedera lebih parah, maksudku.”
Aku tidak menjawab. Aku takut memberinya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang Kyle.
Jeb menemukan kami tepat sebelum kami memasuki ruang gua besar. Ada cukup banyak cahaya bagiku untuk menangkap kilau tajam rasa penasaran di matanya ketika melihatku di pelukan Ian, dengan wajah berdarah, dan senapan tergeletak di kedua tanganku yang terbuka.
“Kalau begitu kau benar,” tebak Jeb. Rasa penasarannya kuat, tapi nada dingin di dalam suaranya lebih kuat. Rahangnya terkatup di balik janggut. “Aku tidak mendengar suara tembakan. Kyle?”
“Dia tak sadarkan diri,” ujarku cepat-cepat. “Kau perlu memperingatkan semua orang—sebagian lantai runtuh di ruang bersungai. Aku tidak tahu seberapa stabilnya lantai itu sekarang. Kepala Kyle terbentur sangat keras ketika berusaha menyingkir. Dia perlu Doc.”
mengangkat sebelah alisnya sangat tinggi, sampai nyaris menyentuh bandana pudar di garis rambutnya.
“Itu versi Wanda,” ujar Ian, tanpa berusaha menyembunyikan keraguannya. “Dan sepertinya dia memegangnya dengan teguh.”
Jeb tertawa. “Biar kuambil benda itu dari tanganmu,” katanya kepadaku.
Dengan senang hati kubiarkan Jeb mengambil senapannya. Ia tertawa melihat ekspresiku.
“Aku akan mengajak Andy dan Brandt membantuku membawa Kyle. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Awasi Kyle ketika tersadar,” ujar Ian dengan nada keras.
“Pasti.”
Jeb pergi mencari lebih banyak bantuan. Ian bergegas membawaku ke gua rumah sakit.
“Kyle mungkin terluka parah… Jeb harus bergegas.”                                                                                                                       
“Kepala Kyle lebih keras daripada semua batu di tempat ini.”
Terowongan panjang itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Apakah Kyle sekarat walaupun aku sudah berusaha menyelamatkannya? Apakah ia kembali tersadar dan mencariku? Bagaimana dengan Walter? Apakah ia sedang tidur… atau sudah pergi? Apakah Pencari sudah menghentikan perburuannya, atau apakah ia akan kembali, karena sekarang hari sudah kembali terang?
Apakah Jared masih bersama Doc? Melanie bertanya. Apakah ia bakal marah ketika melihatmu? Akankah ia mengenaliku?
Ketika kami mencapai gua selatan yang diterangi cahaya matahari, Jared dan Doc tampak seakan-akan belum banyak bergerak. Mereka bersandar, berdampingan, di meja buatan Doc. Keadaan hening ketika kami mendekat. Mereka tidak bicara, hanya mengamati Walter tidur. Mereka terlompat dengan mata terbelalak ketika Ian membopongku ke dalam cahaya dan membaringkanku di dipan di samping Walter. Ia meluruskan kaki kananku dengan hati-hati.
Walter sedang mendengkur. Suara itu mengurangi sebagian keteganganku.
“Ada apa lagi ini?” desak Doc marah. Setelah melontarkan kata-kata itu ia langsung membungkuk di atas tubuhku. Lalu mengusap darah di pipiku.
Wajah Jared terpaku kaget. Ia berhati-hati, tidak membiarkan ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Kyle,” jawab Ian, pada saat yang sama ketika aku mengucapkan, “Lantainya—“
Doc memandang kami silih berganti, kebingungan.
Ian mendesah dan memutar bola mata. Tanpa sadar ia menyentuh ringan keningku. “Lantainya runtuh di dekat lubang sungai pertama. Kyle jatuh dan kepalanya menghantam batu. Wanda menyelamatkan hidupnya yang tak berguna itu. Menurut Wanda, dia juga terjatuh ketika lantainya runtuh.” Ian memandang Doc penuh arti. “Sesuatu,” diucapkannya kata itu dengan nada menyindir,” menghantam bagian kepala Wanda cukup keras.” Ian mulai menyebutkannya satu per satu. “Hidungnya berdarah, tapi kurasa tidak patah. Ototnya terluka di sini.” Ia menyentuh pahaku yang cedera. “Kedua lututnya tergores cukup parah. Juga wajahnya, sekali lagi, tapi kurasa aku yang melakukannya, ketika mencoba menarik Kyle keluar dari lubang. Seharusnya aku tak perlu repot-repot.” Ian menggumamkan bagian terakhir itu.
“Ada lagi?” Tanya Doc. Jari-jarinya meraba sisi tubuhku, dan mencapai bagian yang dipukul Kyle. Aku menghela napas kesakitan.
Doc menarik kemejaku ke atas, dan kudengar Ian serta Jared mendesis ketika melihatnya.
“Biar kutebak,” ujar Ian dengan suara sedingin es. “Kau terjatuh di atas batu.”
“Tebakan jitu,” kataku mengiyakan, kehabisan napas. Doc masih menyentuh sisi tubuhku, dan aku mencoba menahan erangan.
“Mungkin rusuknya ada yang patah, aku tak yakin,” gumam Doc. “Kuharap aku bisa memberimu sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya—“
“Jangan khawatir, Doc,” ujarku terengah-engah. “Aku baik-baik saja. Bagaimana Walter? Apakah dia terbangun?”
“Tidak. Perlu beberapa waktu untuk menghilangkan dosisinya,” ujar Doc. Ia meraih tanganku dan mulai menekuk pergelangan tangan dan sikuku.
“Aku baik-baik saja.”
Mata Doc yang baik hati tampak lembut ketika membalas tatapanku. “Kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu beristirahat selama beberapa waktu. Aku akan mengawasimu. Nah, tengokkan kepalamu.”
Aku mematuhi permintaannya, lalu mengernyit ketika Doc meneliti lukaku.
“Jangan di sini,” gumam Ian.
Aku tidak bisa melihat Doc, tapi Jared memandang Ian dengan tajam.
“Mereka akan membawa Kyle ke sini. Aku tidak mau Wanda dan Kyle berada di ruangan yang sama.”
Doc mengangguk. “Mungkin itu bijaksana.”
“Akan kusiapkan tempat untuk Wanda. Aku memerlukanmu untuk mengawasi Kyle di sini sampai… sampai kita putuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”
Aku mulai bicara, tapi Ian meletakkan jemarinya di bibirku.
“Baiklah,” ujar Doc setuju. “Aku akan mengikat Kyle, jika kau mau.”
“Jika perlu. Apakah tidak apa-apa memindahkan Wanda?” Ian melirih kea rah terowongan, wajahnya cemas.
Doc bimbang.
“Tidak,” bisikku. Jemari Ian masih menyentuh bibirku. “Walter. Aku ingin berada di sini untuk  Walter.”
“Kau telah menyelamatkan semua kehidupan yang bisa kau selamatkan hari ini, Wanda,” ujar Ian. Suaranya lembut dan sedih.
“Aku ingin mengucapkan… mengucapkan selamat—selamat tinggal.”
Ian mengangguk. Lalu ia memandang Jared. “Bisakah aku memercayaimu?”
Wajah Jared memerah karena amarah. Ian mengangkat tangan. “Aku tak ingin meninggalkan Wanda di sini tanpa perlindungan, sementara aku mencari tempat yang aman untuknya,” ujar Ian.
“Aku tidak tahu apakah Kyle dalam keadaan sadar ketika tiba. Seandainya Jeb menembaknya, itu akan membuat Wanda sedih. Tapi kau dan Doc harus bisa menangani Kyle. Aku tidak ingin Doc sendirian, dan memaksa Jeb melakukannya.”
Jared bicara dengan gigi dikertakkan. “Doc tidak akan sendirian.”
Ian bimbang. “Wanda mengalami hal-hal sangat buruk beberapa hari terakhir. Ingat itu.”
Jared mengangguk, dengan gigi masih dikertakkan.
“Aku akan berada di sini,” ujar Doc mengingatkan Ian.
Ian membalas tatapan Doc. “Oke.” Ia membungkuk di atas tubuhku, mata cemerlangnya menatapku. “Aku akan segera kembali. Jangan takut.”
“Aku tidak takut.”
Ian membungkuk dan menyentuhkan bibirnya di keningku.
Tak seorang pun lebih terkejut daripada aku, walaupun aku mendengar Jared diam-diam menghela napas kaget. Mulutku terbuka ketika Ian bergegas pergi, nyaris berlari, dari ruangan itu.
Kudengar Doc menghela napas melalui sela-sela gigi, seperti siulan terbalik. “Well,” katanya.
Mereka menatapku untuk waku lama. Aku begitu lelah dan sakit sehingga nyaris tak memedulikan apa yang mereka pikirkan.
“Doc—“ Jared mulai mengucapkan sesuatu dengan nada mendesak, tapi keributan di dalam terowongan mengganggunya.
Lima lelaki berjuang melewati lubang pintu. Jeb di depan, memegangi kaki kiri Kyle dengan dua tangan. Wes memegangi kaki kanan Kyle, dan di belakang mereka, Andy dan Aaron berjuang mengangkat dada Kyle. Kepala Kyle terkulai ke belakang di bahu Andy.
“Astaga, berat sekali,” gerutu Jeb.
Jared dan Doc melompat maju untuk membantu. Setelah beberapa menit memaki dan mengerang, Kyle terbaring di dipan beberapa puluh sentimeter dari dipanku.j
“Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, Wanda?” Tanya Doc kepadaku. Ia membuka kelopak mata Kyle, membiarkan cahaya matahari menyinari pupil matanya.
“Um…” aku berpikir cepat. “Sama lamanya dengan keberadaanku disini, ditambah sepuluh menit atau lebih yang diperlukan Ian untuk membawaku kemari, dan mungkin lima menit lagi sebelum itu.”
“Setidaknya dua puluh menit, menurutmu?”
“Ya. Kira-kira selama itu.”
Sementara kami bercakap-cakap, Jeb telah membuat diagnosisnya sendiri. Tak seorang pun memperhatikan ketika Jeb berdiri di ujung atas dipan Kyle. Tak seorang pun memperhatikan—sampai ia menuang sebotol air ke wajah Kyle.
“Jeb,” keluh Doc, seraya menyingkirkan tangan Jeb.
Tapi Kyle terbatuk-batuk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengerang. “Apa yang terjadi? Ke mana makhluk itu pergi?” Ia mulai menggeser tubuhnya, mencoba melihat sekeliling. “Lantainya… bergerak…”
Suara Kyle membuat jemariku mencengkeram sisi dipan, dan kepanikan menyapu wajahku. Kakiku sakit. Bisakah aku pergi dengan terpincang-pincang? Pelan-pelan mungkin…
“Tidak apa-apa,” gumam seseorang. Bukan seseorang. Aku akan selalu mengenali suara itu.
Jared bergerak, berdiri di antara dipanku dan dipan Kyle. Punggungnya menghadapku, matanya terarah pada lelaki bongsor itu. Kyle menggerakkan kepalanya sambal mengerang.
“Kau aman,” ujar Jared pelan. Ia tidak memandangku. “Jangan takut.”                  
Aku menghela napas panjang.
Melanie ingin menyentuh Jared. Tangan lelaki itu berada di dekat tanganku, tergeletak di pinggir dipanku.
Kumohon, jangan, ujarku kepadanya. Wajahku sudah cukup sakit!
Jared tidak akan memukulmu.
Menurutmu. Aku tidak mau mengambil risiko.
Melanie mendesah; ia ingin mendekati Jared. Takkan terlalu berat untuk ditanggungkan, seandainya aku tidak menginginkan hal yang sama.
Melanie kembali mendesah.
“Aw, sialan!” gerutu Kyle. Pandanganku beralih kepadanya, ketika mendengar nada suaranya. Aku hanya bisa melihat mata cemerlangnya, di sekitar siku jared, terpusat padaku. “Makhluk itu tidak terjatuh!” keluhnya.






0 comments on "The Host - Bab 33"

Post a Comment