Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara

Pesan Snack Box murah untuk berbagai acara
Harga mulai 5rb an. Gratis ongkir DKI Jakarta

The Host- Bab 35

DIADILI



Aku mengerang. Kepalaku serasa berputar-putar dan mau lepas. Perutku bergolak memualkan.
“Akhirnya.” Seseorang bergumam lega. Ian. Tentu saja. “Lapar?”
Kurenungkan perkataannya, lalu tanpa kuinginkan aku bersendawa.
“Oh. Lupakan saja. Maaf. Lagi. Kami harus melakukannya. Orang-orang berubah… paranoid ketika kami membawamu keluar.”
“Tidak apa-apa,” desahku.
“Mau minum?”
“Tidak.”
Aku membuka mata, mencoba memusatkan pandangan dalam gelap. Aku bisa melihat dua bintang lewat celah-celah di atas kepala. Masih malam. Atau sudah malam lagi, siapa yang tahu?
“Aku di mana?” tanyaku. Bentuk celah-celah itu tak kukenal.
Aku bersumpah tak pernah menatap langit-langit ini sebelumnya.
“Kamarmu,” jawab Ian.
Kuteliti wajahnya dalam gelap, tapi aku hanya bisa melihat bentuk hitam kepalanya. Dengan jemari kuraba permukaan tempatku berbaring; benar-benar Kasur. Ada bantal di bawah kepala. Tanganku yang meraba-raba menemukan tangan Ian, dan ia menangkap jemariku sebelum aku bisa menariknya.
“Sebenarnya kamar siapa ini?”
“Kamarmu.”
“Ian…”
“Dulunya kamar kami—kamarku bersama Kyle. Kyle… ditahan di rumah sakit sampai segalanya diputuskan. Aku bisa pindah ke kamar Wes.”
“Aku takkan mengambil kamarmu. Dan apa maksudmu dengan sampai segalanya diputuskan?”
“Sudah kubilang, akan ada pengadilan.”
“Kapan?”
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Karena, jika kalian hendak menyelenggarakannya, aku harus ada di sana. Untuk menjelaskan.”
“Untuk berbohong?”
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Cahaya pertama. Aku tidak akan membawamu ke sana.”
“Kalau begitu aku akan ke sana sendiri. Aku bisa berjalan setelah kepalaku berhenti berputar-putar.”
“Kau bersungguh-sungguh, bukan?”
“Ya. Tidak adil jika kalian tidak membiarkanku bicara.”
Ian mendesah. Ia menjatuhkan tangannya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Aku bisa mendengar sendi-sendinya berkeretak ketika ia bangkit. Berapa lama ia duduk di dalam gelap, menungguku terbangun? “Aku akan segera kembali. Kau mungkin tidak lapar, tapi aku kelaparan.”
“Kau mengalami malam yang panjang.”
“Ya.”
“Jika hari sudah terang, aku takkan duduk di sini menunggumu.”
Ian tergelak tanpa menunjukkan rasa geli. Aku yakin itu benar. Jadi aku akan kembali sebelum itu, dan aku akan membantu membawamu ke tempat yang kautuju.”
Ian menyingkirkan salah satu pintu yang menutupi lubang masuk ke guanya. Ia melangkah ke luar, lalu meletakkan pintu itu ke tempatnya lagi. Aku memberengut. Akan sulit menggeser pintu itu dengan satu kaki. Kuharap Ian benar-benar kembali.
Sementara menunggu Ian, aku menatap dua bintang yang bisa kulihat, dan kubiarkan kepalaku perlahan-lahan berubah tenang. Aku benar-benar tidak menyukai obat-obatan manusia. Ugh. Tubuhku sakit, tapi guncangan-guncangan di kepalaku lebih menyakitkan lagi.
Waktu bergeser lalmbat, tapi aku tidak tertidur. Aku sudah tidur lebih dari 24 jam. Mungkin aku juga lapar. Aku harus menunggu sampai perutku tenang, sebelum bisa memastikan.
Ian kembali sebelum hari terang, persis seperti janjinya.
“Merasa lebih enak?” tanyanya, ketika melangkah melewati pintu.
“Kurasa begitu. Aku belum menggerakkan kepala.”
“Menurutmu, siapa yang bereaksi terhadap morfin itu? Kau atau tubuh Melanie?”
“Mel. Dia bereaksi buruk terhadap sebagian besar obat penghilang nyeri. Dia tahu itu ketika pergelangan tangannya patah sepuluh tahun yang lalu.”
Sejenak Ian merenungkan perkataanku. “Rasanya… aneh. Menghadapi dua orang sekaligus.”
“Aneh,” ujarku setuju.
“Kau sudah lapar?”
Aku tersenyum. “Kurasa aku mencium bau roti. Ya, kurasa perutku sudah melewati saat terburuknya.”
“Aku memang berharap kau akan berkata seperti itu.”
Bayang-bayang Ian duduk di sampingku. Ia mencari tanganku, lalu membuka jemariku dan meletakkan bentuk yang sudah kukenal itu di sana.
“Bantu aku duduk?” pintaku.
Ian merangkulkan lengannya dengan hati-hati di bahuku, lalu mendudukkanku dengan gerak kaku untuk meminimalkan rasa sakit di sisi tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu yang asing di sana, di kulitku. Kaku dan ketat.
“Terima kasih,” ujarku, sedikit terengah. Kepalaku berputar pelan. Kusentuh sisi tubuhku dengan tanganku yang bebas. Sesuatu melekat di kulitku, di balik kemejaku. “Apakah rusukku patah?”
“Doc tidak yakin. Dia melakukan yang terbaik.”
“Dia berusaha begitu keras.”
“Memang.”
“Aku merasa tidak enak… karena pernah tidak menyukainya,” ujarku mengakui.
Ian tertawa. “Tentu saja kau tidak menyukainya. Aku heran jika kau bisa menyukai salah seorang dari kami.”
“Perkataanmu terbalik,” gumamku, lalu kubenamkan gigiku ke roti yang keras. Aku mengunyah secara mekanis, lalu menelan. Kuletakkan roti itu ketika menunggunya menerpa perutku.
“Tidak terlalu mengundang selera. Aku tahu,” ujar Ian.
Aku mengangkat bahu. “Hanya menguji—untuk mengetahui apakah mualnya sudah benar-benar hilang.”
“Mungkin sesuatu yang lebih mengundang selera…”
Aku memandang Ian, penasaran, tapi tak bisa melihat wajahnya. Aku mendengar suara gemersik tajam dan suara robekan… lalu bisa mencium baunya, dan aku mengerti.
“Cheetos!” teriakku. “Benarkah? Untukku?”
Sesuatu menyentuh bibirku, dan kukunyah camilan yang tawarkan Ian kepadaku.
“Aku memimpi-mimpikannya,” desahku, seraya mengunyah.
Perkataanku membuat Ian tertawa. Diletakkannya kemasan itu di tanganku.
Kuhabiskan isi kemasan kecil itu dengan cepat, lalu kuhabiskan rotiku, dibumbui rasa keju yang masih tertinggal di mulutku. Ian memberiku sebotol air sebelum aku memintanya.
“Terima kasih. Kau tahu, bukan hanya untuk Cheetos-nya. Tapi untuk begitu banyak hal.”
“Sama-sama, Wanda.”
Kutatap mata biru gelap Ian, mencoba memahami semua yang dikatakannya lewat kalimat itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesopanan dalam kata-katanya. Lalu kusadari aku bisa melihat warna mata Ian. Cepat-cepat aku melirik ke celah-celah di atasku. Bintang – bintang sudah menghilang, dan langit berubah kelabu pucat. Fajar menjelang. Cahaya pertama.
“Kau yakin harus melakukannya?” tanya Ian. Tangannya setengah terulur, seakan hendak mengangkatku.
Aku mengangguk. “Kau tak perlu membopongku. Kakiku sudah lebih baik.”
“Akan kita lihat.”
Ian membantuku berdiri, membiarkan lengannya memeluk pinggangku, lalu merangkulkan lenganku di lehernya.
“Sekarang hati-hati. Bagaimana rasanya?”Aku melompat maju satu langkah. Rasanya sakit, tapi aku bisa melakukannya. “Hebat. Ayo pergi.”
Kurasa Ian terlalu menyukaimu.
Terlalu? Aku terkejut mendengar suara Melanie begitu jelas. Belakangan ia hanya bicara seperti itu ketika Jared berada di sini.
AKu juga ada di sini. Apakah ia bahkan peduli?
Tentu saja ia peduli. Ian memercayai kita, melebihi siapa pun, selain Jamie dan Jeb.
Bukan itu maksudku.
Apa maksudmu?
Tapi Melanie sudah pergi.
Perlu waktu lama bagi kami. Aku terkejut menyadari betapa jauh kami harus pergi. Kupikir kami akan pergi ke plaza utama atau dapur—tempat-tempat berkumpul yang biasa. Tapi kami berjalan melewati ladang timur, sampai akhirnya tiba di gua gelap gulita besar yang disebut Jeb ruang bermain. Aku belum pernah ke sana sejak tur pertamaku. Bau menyengat mata air sulfur menyambutku.
Tidak seperti sebagian besar ruang gua di sini, ruang bermain jauh lebih luas jika dibandingkan tingginya. Kini aku bisa melihat ruangan itu, karena lampu-lampu biru suram tergantung di langit-langit, dan bukannya tergeletak di lantai. Langit-langitnya hanya beberapa puluh sentimeter di atas kepalaku; tinggi langit-langit normal sebuah rumah. Tapi aku bahkan tak bisa melihat dinding-dindingnya, yang sangat jauh dari lampu-lampu itu. Aku tak bisa melihat mata air berbau busuk itu, yang tersembunyi di pojok yang jauh, tapi aku bisa mendengarnya menetes dan berdeguk.
Kyle duduk di tempat yang paling diterangi cahaya. Lengannya memeluk kaki. Wajahnya seperti topeng kaku. Ia tidak mendongak ketika Ian membantuku berjalan masuk.
Kyle diapit Jared dan Doc yang berdiri dengan lengan bebas dan siaga di sisi tubuh mereka. Seakan mereka… pengawal.
Jeb duduk di samping Jared, dengan senapan tersampir di bahu. Ia tampak santai, tapi aku tahu betapa cepat hal itu bisa berubah. Jamie meletakkan tangannya yang bebas… Tidak, Jeb memegangi pergelangan tangan anak itu, dan Jamie sepertinya tidak merasa senang. Tapi ketika melihatku masuk, Jamie tersenyum dan melambai. Ia menghela napas panjang dan memandang Jeb tajam.
Jeb melepaskan tangan Jamie.
Sharon berdiri diapit Doc dan BIbi Maggie.
Ian menarikku ke tepi kegelapan yang mengeliingi adegan itu. Kami tidak sendirian. Aku bisa melihat sosok-sosok lain, tapi tak bisa melihat wajah mereka.
Rasanya aneh. Sepanjang jalan Ian menopang sebagian besar bobotku dengan mudah.  Tapi kini tampaknya ia kelelahan. Lengan yang memeluk pinggangku mengendur. Aku terhuyung dan melompat maju sebisa mungkin, sampai Ian menemukan tempat yang ia inginkan. Ia mendudukkanku di lantai, lalu duduk di sampingku.
“Aduh,” kudengar seseorang berbisik.
Aku menoleh, dan samar-samar melihat Trudy. Ia beringsut mendekati kami, lalu Geoffrey dan Heath mengikuti..
“Kau tampak payah,” ujarnya kepadaku. “Seberapa parah lukamu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja.” Aku mulai bertanya-tanya, apakah tadi Ian sengaja membiarkanku berjuang, untuk menunjukkan luka-lukaku—untuk membuatku bersaksi tanpa kata-kata melawan Kyle. Aku memberengut melihat wajah polosnya.
Lalu Wes dan Lily tiba, dan duduk bersama kelompok sekutu kecilku. Brandt masuk beberapa detik kemudian, lalu Heidi, Andy, dan Paige. Aaron yang terakhir.
“Sudah lengkap,” ujarnya. “Lucina menemani anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berada di sini—dia meminta kita melanjutkan tanpanya.”
Aaron duduk di samping Andy. Sejenak suasana hening.
“Oke kalau begitu,” ujar Jeb dengan suara keras, agar didengar semua orang. “Begini prosedurnya: pemungutan suara secara langsung berdasarkan mayoritas. Seperti biasa, aku akan membuat keputusanku sendiri jika mendapat masalah dengan mayoritas, karena ini—“
“Adalah rumahku,” sela beberapa suara serentak. Seseorang tergelak, tapi langsung berhenti. Ini tidak lucu. Seorang manusia sedang diadili karena mencoba membunuh mahluk asing. Seharusnya ini hari yang mengerikan bagi mereka semua.
“Siapa yang ingin bicara menentang Kyle?” tanya Jeb.
Ian hendak berdiri.                                                                                
“Tidak!” bisikku, menarik sikunya.
Ian menyingkirkan tanganku dan bangkit berdiri.
“Ini cukup sederhana,” ujar Ian. Aku ingin melompat dan membungkam mulutnya dengan tanganku, tapi kurasa aku tidak bisa bangkit tanpa bantuan. “Kakakku sudah mendapat peringatan. Dia benar-benar sudah memahami peraturan Jeb soal ini. Wanda anggota komunitas kita—peraturan dan perlindungan yang sama berlaku baginya, seperti juga bagi kita semua. Jeb mengatakan dengan jelas kepada Kyle bahwa, kalau dia tidak bisa tinggal bersama Wanda di sini, dia harus pergi. Kyle memutuskan untuk tetap tinggal. Sejak dulu dia sudah tahu hukuman atas pembunuhan di tempat ini.”
“Makhluk itu masih hidup,” gerutu Kyle.
“Itulah sebabnya aku tidak menuntut kematianmu,” bentak Ian.
“Tapi kau tidak bisa lagi tinggal di sini. Tidak bisa, jika pada dasarnya kau pembunuh.”
Sejenak Ian menatap kakaknya, lalu duduk kembali di tanah di sampingku.
“Tapi Kyle bisa tertangkap, sedangkan kita sama sekali tak tahu,” protes Brandt, seraya bangkit berdiri. “Dia akan menuntun mereka kemari, dan kita tidak akan menerima peringatan apa pun.”
Terdengar gumaman di seluruh ruangan.
Kyle melirik Brandt. “Mereka takkan pernah menangkapku hidup-hidup.”
“Kalau begitu hukuman mati saja,” gumam seseorang, serentak dengan perkataan Andy, “Kau tidak bisa menjamin hal itu.”
“Satu per satu,” Jeb mengingatkan.
“Aku pernah bertahan hidup di luar,” ujar Kyle marah.
Suara lain terdengar dari gelap. “Beresiko.” Aku tidak bisa mengenali pemilik suara yang hanya mengeluarkan bisikan mendesis itu.
Lalu terdengar suara lain. “Apa salah Kyle? Tak ada.”
Jeb maju menghampiri suara itu, matanya melotot. “Peraturanku.”
“Makhluk itu bukan salah satu dari kita,” protes orang lain.
Ian hendak bangkit berdiri lagi.
“Hei!” tukas Jared. Suaranya begitu keras sampai semua terlompat. “Wanda tidak sedang diadili di sini! Adakah yang punya keluhan konkret terhadapnya—terhadap Wanda sendiri? Kalau begitu, mintalah diadakan pengadilan lain. Tapi kita semua tahu, dia belum pernah mencelakai satu orang pun di sini. Sebenarnya dia malah menyelamatkan nyawa Kyle.” Jared mengarahkan jarinya ke punggung Kyle. Bahu Kyle merosot, seakan merasakan tusukan itu. “Hanya beberapa detik setelah Kyle mencoba melempar Wanda ke sungai, Wanda mempertaruhkan nyawa untuk menghindarkannya dari kematian menyakitkan yang sama. Wanda pasti tahu seandainya Kyle dibiarkan jatuh, dia akan lebih aman di sini. Tapi toh dia menyelamatkan Kyle juga. Adakah di antara kalian yang bersedia melakukan hal yang sama—menyelamatkan musuh kalian? Kyle mencoba membunuh Wanda, tapi apakah Wanda bicara menentangnya?”
Aku merasakan semua mata di ruang gelap itu memandangku ketika Jared memberiku isyarat untuk maju.
“Maukah kau bicara menentangnya, Wanda?”
Dengan terbelalak aku menatap Jared. Aku terpaku karena ia bicara mewakiliku, karena ia bicara kepadaku, karena ia menggunakan namaku. Melanie juga terkejut, ia terbagi dua. Ia sangat senang melihat kebaikan di wajah Jared ketika memandang kami, melihat kelembutan di mata Jared yang telah begitu lama hilang. Tapi namakulah yang diucapkan lelaki itu…
Perlu beberapa detik sebelum aku menemukan suaraku.
“Ini semua salah paham,” bisikku. “Kami sama-sama terjatuh ketika lantainya runtuh. Hanya itu yang terjadi.” Aku berharap bisikan itu semakin menyulitkan mereka mendeteksi kebohongan di dalam suaraku. Tapi begitu aku selesai bicara, Ian tergelak. Aku menyikutnya, tapi itu tidak menghentikannya.
Jared benar-benar tersenyum kepadaku. “Kalian lihat sendiri. DIa bahkan mencoba berbohong untuk membela Kyle.”
“Mencoba adalah kata yang perlu ditekankan disini,” imbuh Ian.
“Siapa yang bilang makhluk itu berbohong? Siapa yang bisa membuktikannya?” tanya Maggie kasar. Ia melangkah maju ke tempat kosong di samping Kyle. “Siapa yang bisa membuktikan itu adalah kebenaran yang terdengar sangat palsu di bibirnya?”
“Mag—“ Jeb memulai.
“Tutup mulutmu, Jebediah—aku sedang bicara. Taka da alasan bagi kita untuk berada di sini. Tak ada manusia yang diserang. Taka da yang mengeluhkan pelanggaran membahayakan. Ini membuang-buang waktu kita semua.”
“Aku setuju itu,” imbuh Sharon, suaranya bening dan lantang. Doc melontarkan pandangan terluka.
Trudy melompat berdiri. “Kita tidak bisa menampung pembunuh—dan menunggunya memperoleh kesuksesan!”
“Pembunuh adalah istilah subjektif,” desis Maggie. “Aku hanya menganggapnya pembunuh jika ada manusia yang terbunuh.”
Kurasakan lengan Ian memeluk bahuku. Tak kusadari tubuhku gemetar, hingga Ian yang tidak bergerak merapat pada tubuhku.
“Manusia juga istilah subjektif, Magnolia,” ujar Jared, memelototi Maggie. “Kurasa definisi itu mencakup semacam kasih sayang, mencakup sedikit belas kasih.”
“Ayo, kita adakah pemungutan suara,” ujar Sharon, sebelum ibunya bisa menjawab Jared. “Angkat tanganmu jika kau menganggap Kyle harus diizinkan tinggal di sini, tanpa dijatuhi hukuman atas… kesalahpahaman itu.” Ia tidak melirikku, tapi melirik Ian di sampingku, ketika memakai kata yang kugunakan.
Tangan-tangan teracung. Kuamati wajah Jared ketika ekspresinya berubah marah.
Aku berjuang mengangkat tangan, tapi Ian mempererah pegangannya di kedua lenganku, dan mengeluarkan suara jengkel lewat hidungnya. Kuangkat telapak tanganku setinggi mungkin untuk melakukannya. Tapi akhirnya suaraku tidak diperlukan.
Jeb menghitung keras-keras. “Sepuluh… lima belas… dua puluh… dua puluh tiga. Oke, itu jelas mayoritas.”
Aku tidak memandang sekeliling untuk melihat siapa yang memilih siapa. Cukuplah bahwa, di pojok mungilku, semua lengan tersilang erat di dada dan semua mata menatap Jeb dengan ekspresi penuh harap.
Jamie berjalan meninggalkan Jeb untuk menjejalkan diri di antara aku dan Trudy. Ia memelukku, di bawah lengan Ian.
“Mungkin jiwa-jiwa kalian benar tentang kami,” ujar Jamie, cukup keras bagi sebagian besar orang untuk mendengar suara lantangnya yang bernada tinggi. “Sebagian besar manusia tidak lebih baik daripada—“
“Hus!” desisku kepadanya.
“Oke,” ujar Jeb. Semua terdiam. Jeb menundukk memandang Kyle, lalu memandangku, lalu memandang Jared. “Oke, aku cenderung setuju dengan mayoritas dalam hal ini.”
“Jeb—“ ujar Jared dan Ian serentak.
“Rumahku, peraturanku,” Jeb mengingatkan. “Jangan pernah lupakan itu. Jadi, dengarkan aku, Kyle. Dan kurasa kau sebaiknya juga mendengarkan, Magnolia. Siapa pun yang mencoba mencederai Wanda lagi, dia tidak akan diadili. Dia akan dimakamkan.” Jeb menepuk gagang senapannya sebagai penegasan.
Aku terkesiap.
Magnolia melotot penuh kebencian pada saudara laki-lakinya. Kyle mengangguk, seakan menerima persyaratan itu.
Jeb memandang ke penonton yang terbagi secara tidak merata, menatap mata setiap anggota, kecuali mata anggota kelompok kecil di sampingku.
“Pengadilan selesai,” ujarnya mengumumkan. “Siapa yang mau main?”



0 comments:

Post a Comment

Jual Nugget dan Sosis Sayur

Jual Nugget dan Sosis Sayur
Pemesanan via email : lwati111@gmail.com

The Host- Bab 35

DIADILI



Aku mengerang. Kepalaku serasa berputar-putar dan mau lepas. Perutku bergolak memualkan.
“Akhirnya.” Seseorang bergumam lega. Ian. Tentu saja. “Lapar?”
Kurenungkan perkataannya, lalu tanpa kuinginkan aku bersendawa.
“Oh. Lupakan saja. Maaf. Lagi. Kami harus melakukannya. Orang-orang berubah… paranoid ketika kami membawamu keluar.”
“Tidak apa-apa,” desahku.
“Mau minum?”
“Tidak.”
Aku membuka mata, mencoba memusatkan pandangan dalam gelap. Aku bisa melihat dua bintang lewat celah-celah di atas kepala. Masih malam. Atau sudah malam lagi, siapa yang tahu?
“Aku di mana?” tanyaku. Bentuk celah-celah itu tak kukenal.
Aku bersumpah tak pernah menatap langit-langit ini sebelumnya.
“Kamarmu,” jawab Ian.
Kuteliti wajahnya dalam gelap, tapi aku hanya bisa melihat bentuk hitam kepalanya. Dengan jemari kuraba permukaan tempatku berbaring; benar-benar Kasur. Ada bantal di bawah kepala. Tanganku yang meraba-raba menemukan tangan Ian, dan ia menangkap jemariku sebelum aku bisa menariknya.
“Sebenarnya kamar siapa ini?”
“Kamarmu.”
“Ian…”
“Dulunya kamar kami—kamarku bersama Kyle. Kyle… ditahan di rumah sakit sampai segalanya diputuskan. Aku bisa pindah ke kamar Wes.”
“Aku takkan mengambil kamarmu. Dan apa maksudmu dengan sampai segalanya diputuskan?”
“Sudah kubilang, akan ada pengadilan.”
“Kapan?”
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Karena, jika kalian hendak menyelenggarakannya, aku harus ada di sana. Untuk menjelaskan.”
“Untuk berbohong?”
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Cahaya pertama. Aku tidak akan membawamu ke sana.”
“Kalau begitu aku akan ke sana sendiri. Aku bisa berjalan setelah kepalaku berhenti berputar-putar.”
“Kau bersungguh-sungguh, bukan?”
“Ya. Tidak adil jika kalian tidak membiarkanku bicara.”
Ian mendesah. Ia menjatuhkan tangannya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Aku bisa mendengar sendi-sendinya berkeretak ketika ia bangkit. Berapa lama ia duduk di dalam gelap, menungguku terbangun? “Aku akan segera kembali. Kau mungkin tidak lapar, tapi aku kelaparan.”
“Kau mengalami malam yang panjang.”
“Ya.”
“Jika hari sudah terang, aku takkan duduk di sini menunggumu.”
Ian tergelak tanpa menunjukkan rasa geli. Aku yakin itu benar. Jadi aku akan kembali sebelum itu, dan aku akan membantu membawamu ke tempat yang kautuju.”
Ian menyingkirkan salah satu pintu yang menutupi lubang masuk ke guanya. Ia melangkah ke luar, lalu meletakkan pintu itu ke tempatnya lagi. Aku memberengut. Akan sulit menggeser pintu itu dengan satu kaki. Kuharap Ian benar-benar kembali.
Sementara menunggu Ian, aku menatap dua bintang yang bisa kulihat, dan kubiarkan kepalaku perlahan-lahan berubah tenang. Aku benar-benar tidak menyukai obat-obatan manusia. Ugh. Tubuhku sakit, tapi guncangan-guncangan di kepalaku lebih menyakitkan lagi.
Waktu bergeser lalmbat, tapi aku tidak tertidur. Aku sudah tidur lebih dari 24 jam. Mungkin aku juga lapar. Aku harus menunggu sampai perutku tenang, sebelum bisa memastikan.
Ian kembali sebelum hari terang, persis seperti janjinya.
“Merasa lebih enak?” tanyanya, ketika melangkah melewati pintu.
“Kurasa begitu. Aku belum menggerakkan kepala.”
“Menurutmu, siapa yang bereaksi terhadap morfin itu? Kau atau tubuh Melanie?”
“Mel. Dia bereaksi buruk terhadap sebagian besar obat penghilang nyeri. Dia tahu itu ketika pergelangan tangannya patah sepuluh tahun yang lalu.”
Sejenak Ian merenungkan perkataanku. “Rasanya… aneh. Menghadapi dua orang sekaligus.”
“Aneh,” ujarku setuju.
“Kau sudah lapar?”
Aku tersenyum. “Kurasa aku mencium bau roti. Ya, kurasa perutku sudah melewati saat terburuknya.”
“Aku memang berharap kau akan berkata seperti itu.”
Bayang-bayang Ian duduk di sampingku. Ia mencari tanganku, lalu membuka jemariku dan meletakkan bentuk yang sudah kukenal itu di sana.
“Bantu aku duduk?” pintaku.
Ian merangkulkan lengannya dengan hati-hati di bahuku, lalu mendudukkanku dengan gerak kaku untuk meminimalkan rasa sakit di sisi tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu yang asing di sana, di kulitku. Kaku dan ketat.
“Terima kasih,” ujarku, sedikit terengah. Kepalaku berputar pelan. Kusentuh sisi tubuhku dengan tanganku yang bebas. Sesuatu melekat di kulitku, di balik kemejaku. “Apakah rusukku patah?”
“Doc tidak yakin. Dia melakukan yang terbaik.”
“Dia berusaha begitu keras.”
“Memang.”
“Aku merasa tidak enak… karena pernah tidak menyukainya,” ujarku mengakui.
Ian tertawa. “Tentu saja kau tidak menyukainya. Aku heran jika kau bisa menyukai salah seorang dari kami.”
“Perkataanmu terbalik,” gumamku, lalu kubenamkan gigiku ke roti yang keras. Aku mengunyah secara mekanis, lalu menelan. Kuletakkan roti itu ketika menunggunya menerpa perutku.
“Tidak terlalu mengundang selera. Aku tahu,” ujar Ian.
Aku mengangkat bahu. “Hanya menguji—untuk mengetahui apakah mualnya sudah benar-benar hilang.”
“Mungkin sesuatu yang lebih mengundang selera…”
Aku memandang Ian, penasaran, tapi tak bisa melihat wajahnya. Aku mendengar suara gemersik tajam dan suara robekan… lalu bisa mencium baunya, dan aku mengerti.
“Cheetos!” teriakku. “Benarkah? Untukku?”
Sesuatu menyentuh bibirku, dan kukunyah camilan yang tawarkan Ian kepadaku.
“Aku memimpi-mimpikannya,” desahku, seraya mengunyah.
Perkataanku membuat Ian tertawa. Diletakkannya kemasan itu di tanganku.
Kuhabiskan isi kemasan kecil itu dengan cepat, lalu kuhabiskan rotiku, dibumbui rasa keju yang masih tertinggal di mulutku. Ian memberiku sebotol air sebelum aku memintanya.
“Terima kasih. Kau tahu, bukan hanya untuk Cheetos-nya. Tapi untuk begitu banyak hal.”
“Sama-sama, Wanda.”
Kutatap mata biru gelap Ian, mencoba memahami semua yang dikatakannya lewat kalimat itu. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekedar kesopanan dalam kata-katanya. Lalu kusadari aku bisa melihat warna mata Ian. Cepat-cepat aku melirik ke celah-celah di atasku. Bintang – bintang sudah menghilang, dan langit berubah kelabu pucat. Fajar menjelang. Cahaya pertama.
“Kau yakin harus melakukannya?” tanya Ian. Tangannya setengah terulur, seakan hendak mengangkatku.
Aku mengangguk. “Kau tak perlu membopongku. Kakiku sudah lebih baik.”
“Akan kita lihat.”
Ian membantuku berdiri, membiarkan lengannya memeluk pinggangku, lalu merangkulkan lenganku di lehernya.
“Sekarang hati-hati. Bagaimana rasanya?”Aku melompat maju satu langkah. Rasanya sakit, tapi aku bisa melakukannya. “Hebat. Ayo pergi.”
Kurasa Ian terlalu menyukaimu.
Terlalu? Aku terkejut mendengar suara Melanie begitu jelas. Belakangan ia hanya bicara seperti itu ketika Jared berada di sini.
AKu juga ada di sini. Apakah ia bahkan peduli?
Tentu saja ia peduli. Ian memercayai kita, melebihi siapa pun, selain Jamie dan Jeb.
Bukan itu maksudku.
Apa maksudmu?
Tapi Melanie sudah pergi.
Perlu waktu lama bagi kami. Aku terkejut menyadari betapa jauh kami harus pergi. Kupikir kami akan pergi ke plaza utama atau dapur—tempat-tempat berkumpul yang biasa. Tapi kami berjalan melewati ladang timur, sampai akhirnya tiba di gua gelap gulita besar yang disebut Jeb ruang bermain. Aku belum pernah ke sana sejak tur pertamaku. Bau menyengat mata air sulfur menyambutku.
Tidak seperti sebagian besar ruang gua di sini, ruang bermain jauh lebih luas jika dibandingkan tingginya. Kini aku bisa melihat ruangan itu, karena lampu-lampu biru suram tergantung di langit-langit, dan bukannya tergeletak di lantai. Langit-langitnya hanya beberapa puluh sentimeter di atas kepalaku; tinggi langit-langit normal sebuah rumah. Tapi aku bahkan tak bisa melihat dinding-dindingnya, yang sangat jauh dari lampu-lampu itu. Aku tak bisa melihat mata air berbau busuk itu, yang tersembunyi di pojok yang jauh, tapi aku bisa mendengarnya menetes dan berdeguk.
Kyle duduk di tempat yang paling diterangi cahaya. Lengannya memeluk kaki. Wajahnya seperti topeng kaku. Ia tidak mendongak ketika Ian membantuku berjalan masuk.
Kyle diapit Jared dan Doc yang berdiri dengan lengan bebas dan siaga di sisi tubuh mereka. Seakan mereka… pengawal.
Jeb duduk di samping Jared, dengan senapan tersampir di bahu. Ia tampak santai, tapi aku tahu betapa cepat hal itu bisa berubah. Jamie meletakkan tangannya yang bebas… Tidak, Jeb memegangi pergelangan tangan anak itu, dan Jamie sepertinya tidak merasa senang. Tapi ketika melihatku masuk, Jamie tersenyum dan melambai. Ia menghela napas panjang dan memandang Jeb tajam.
Jeb melepaskan tangan Jamie.
Sharon berdiri diapit Doc dan BIbi Maggie.
Ian menarikku ke tepi kegelapan yang mengeliingi adegan itu. Kami tidak sendirian. Aku bisa melihat sosok-sosok lain, tapi tak bisa melihat wajah mereka.
Rasanya aneh. Sepanjang jalan Ian menopang sebagian besar bobotku dengan mudah.  Tapi kini tampaknya ia kelelahan. Lengan yang memeluk pinggangku mengendur. Aku terhuyung dan melompat maju sebisa mungkin, sampai Ian menemukan tempat yang ia inginkan. Ia mendudukkanku di lantai, lalu duduk di sampingku.
“Aduh,” kudengar seseorang berbisik.
Aku menoleh, dan samar-samar melihat Trudy. Ia beringsut mendekati kami, lalu Geoffrey dan Heath mengikuti..
“Kau tampak payah,” ujarnya kepadaku. “Seberapa parah lukamu?”
Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja.” Aku mulai bertanya-tanya, apakah tadi Ian sengaja membiarkanku berjuang, untuk menunjukkan luka-lukaku—untuk membuatku bersaksi tanpa kata-kata melawan Kyle. Aku memberengut melihat wajah polosnya.
Lalu Wes dan Lily tiba, dan duduk bersama kelompok sekutu kecilku. Brandt masuk beberapa detik kemudian, lalu Heidi, Andy, dan Paige. Aaron yang terakhir.
“Sudah lengkap,” ujarnya. “Lucina menemani anak-anaknya. Dia tak ingin mereka berada di sini—dia meminta kita melanjutkan tanpanya.”
Aaron duduk di samping Andy. Sejenak suasana hening.
“Oke kalau begitu,” ujar Jeb dengan suara keras, agar didengar semua orang. “Begini prosedurnya: pemungutan suara secara langsung berdasarkan mayoritas. Seperti biasa, aku akan membuat keputusanku sendiri jika mendapat masalah dengan mayoritas, karena ini—“
“Adalah rumahku,” sela beberapa suara serentak. Seseorang tergelak, tapi langsung berhenti. Ini tidak lucu. Seorang manusia sedang diadili karena mencoba membunuh mahluk asing. Seharusnya ini hari yang mengerikan bagi mereka semua.
“Siapa yang ingin bicara menentang Kyle?” tanya Jeb.
Ian hendak berdiri.                                                                                
“Tidak!” bisikku, menarik sikunya.
Ian menyingkirkan tanganku dan bangkit berdiri.
“Ini cukup sederhana,” ujar Ian. Aku ingin melompat dan membungkam mulutnya dengan tanganku, tapi kurasa aku tidak bisa bangkit tanpa bantuan. “Kakakku sudah mendapat peringatan. Dia benar-benar sudah memahami peraturan Jeb soal ini. Wanda anggota komunitas kita—peraturan dan perlindungan yang sama berlaku baginya, seperti juga bagi kita semua. Jeb mengatakan dengan jelas kepada Kyle bahwa, kalau dia tidak bisa tinggal bersama Wanda di sini, dia harus pergi. Kyle memutuskan untuk tetap tinggal. Sejak dulu dia sudah tahu hukuman atas pembunuhan di tempat ini.”
“Makhluk itu masih hidup,” gerutu Kyle.
“Itulah sebabnya aku tidak menuntut kematianmu,” bentak Ian.
“Tapi kau tidak bisa lagi tinggal di sini. Tidak bisa, jika pada dasarnya kau pembunuh.”
Sejenak Ian menatap kakaknya, lalu duduk kembali di tanah di sampingku.
“Tapi Kyle bisa tertangkap, sedangkan kita sama sekali tak tahu,” protes Brandt, seraya bangkit berdiri. “Dia akan menuntun mereka kemari, dan kita tidak akan menerima peringatan apa pun.”
Terdengar gumaman di seluruh ruangan.
Kyle melirik Brandt. “Mereka takkan pernah menangkapku hidup-hidup.”
“Kalau begitu hukuman mati saja,” gumam seseorang, serentak dengan perkataan Andy, “Kau tidak bisa menjamin hal itu.”
“Satu per satu,” Jeb mengingatkan.
“Aku pernah bertahan hidup di luar,” ujar Kyle marah.
Suara lain terdengar dari gelap. “Beresiko.” Aku tidak bisa mengenali pemilik suara yang hanya mengeluarkan bisikan mendesis itu.
Lalu terdengar suara lain. “Apa salah Kyle? Tak ada.”
Jeb maju menghampiri suara itu, matanya melotot. “Peraturanku.”
“Makhluk itu bukan salah satu dari kita,” protes orang lain.
Ian hendak bangkit berdiri lagi.
“Hei!” tukas Jared. Suaranya begitu keras sampai semua terlompat. “Wanda tidak sedang diadili di sini! Adakah yang punya keluhan konkret terhadapnya—terhadap Wanda sendiri? Kalau begitu, mintalah diadakan pengadilan lain. Tapi kita semua tahu, dia belum pernah mencelakai satu orang pun di sini. Sebenarnya dia malah menyelamatkan nyawa Kyle.” Jared mengarahkan jarinya ke punggung Kyle. Bahu Kyle merosot, seakan merasakan tusukan itu. “Hanya beberapa detik setelah Kyle mencoba melempar Wanda ke sungai, Wanda mempertaruhkan nyawa untuk menghindarkannya dari kematian menyakitkan yang sama. Wanda pasti tahu seandainya Kyle dibiarkan jatuh, dia akan lebih aman di sini. Tapi toh dia menyelamatkan Kyle juga. Adakah di antara kalian yang bersedia melakukan hal yang sama—menyelamatkan musuh kalian? Kyle mencoba membunuh Wanda, tapi apakah Wanda bicara menentangnya?”
Aku merasakan semua mata di ruang gelap itu memandangku ketika Jared memberiku isyarat untuk maju.
“Maukah kau bicara menentangnya, Wanda?”
Dengan terbelalak aku menatap Jared. Aku terpaku karena ia bicara mewakiliku, karena ia bicara kepadaku, karena ia menggunakan namaku. Melanie juga terkejut, ia terbagi dua. Ia sangat senang melihat kebaikan di wajah Jared ketika memandang kami, melihat kelembutan di mata Jared yang telah begitu lama hilang. Tapi namakulah yang diucapkan lelaki itu…
Perlu beberapa detik sebelum aku menemukan suaraku.
“Ini semua salah paham,” bisikku. “Kami sama-sama terjatuh ketika lantainya runtuh. Hanya itu yang terjadi.” Aku berharap bisikan itu semakin menyulitkan mereka mendeteksi kebohongan di dalam suaraku. Tapi begitu aku selesai bicara, Ian tergelak. Aku menyikutnya, tapi itu tidak menghentikannya.
Jared benar-benar tersenyum kepadaku. “Kalian lihat sendiri. DIa bahkan mencoba berbohong untuk membela Kyle.”
“Mencoba adalah kata yang perlu ditekankan disini,” imbuh Ian.
“Siapa yang bilang makhluk itu berbohong? Siapa yang bisa membuktikannya?” tanya Maggie kasar. Ia melangkah maju ke tempat kosong di samping Kyle. “Siapa yang bisa membuktikan itu adalah kebenaran yang terdengar sangat palsu di bibirnya?”
“Mag—“ Jeb memulai.
“Tutup mulutmu, Jebediah—aku sedang bicara. Taka da alasan bagi kita untuk berada di sini. Tak ada manusia yang diserang. Taka da yang mengeluhkan pelanggaran membahayakan. Ini membuang-buang waktu kita semua.”
“Aku setuju itu,” imbuh Sharon, suaranya bening dan lantang. Doc melontarkan pandangan terluka.
Trudy melompat berdiri. “Kita tidak bisa menampung pembunuh—dan menunggunya memperoleh kesuksesan!”
“Pembunuh adalah istilah subjektif,” desis Maggie. “Aku hanya menganggapnya pembunuh jika ada manusia yang terbunuh.”
Kurasakan lengan Ian memeluk bahuku. Tak kusadari tubuhku gemetar, hingga Ian yang tidak bergerak merapat pada tubuhku.
“Manusia juga istilah subjektif, Magnolia,” ujar Jared, memelototi Maggie. “Kurasa definisi itu mencakup semacam kasih sayang, mencakup sedikit belas kasih.”
“Ayo, kita adakah pemungutan suara,” ujar Sharon, sebelum ibunya bisa menjawab Jared. “Angkat tanganmu jika kau menganggap Kyle harus diizinkan tinggal di sini, tanpa dijatuhi hukuman atas… kesalahpahaman itu.” Ia tidak melirikku, tapi melirik Ian di sampingku, ketika memakai kata yang kugunakan.
Tangan-tangan teracung. Kuamati wajah Jared ketika ekspresinya berubah marah.
Aku berjuang mengangkat tangan, tapi Ian mempererah pegangannya di kedua lenganku, dan mengeluarkan suara jengkel lewat hidungnya. Kuangkat telapak tanganku setinggi mungkin untuk melakukannya. Tapi akhirnya suaraku tidak diperlukan.
Jeb menghitung keras-keras. “Sepuluh… lima belas… dua puluh… dua puluh tiga. Oke, itu jelas mayoritas.”
Aku tidak memandang sekeliling untuk melihat siapa yang memilih siapa. Cukuplah bahwa, di pojok mungilku, semua lengan tersilang erat di dada dan semua mata menatap Jeb dengan ekspresi penuh harap.
Jamie berjalan meninggalkan Jeb untuk menjejalkan diri di antara aku dan Trudy. Ia memelukku, di bawah lengan Ian.
“Mungkin jiwa-jiwa kalian benar tentang kami,” ujar Jamie, cukup keras bagi sebagian besar orang untuk mendengar suara lantangnya yang bernada tinggi. “Sebagian besar manusia tidak lebih baik daripada—“
“Hus!” desisku kepadanya.
“Oke,” ujar Jeb. Semua terdiam. Jeb menundukk memandang Kyle, lalu memandangku, lalu memandang Jared. “Oke, aku cenderung setuju dengan mayoritas dalam hal ini.”
“Jeb—“ ujar Jared dan Ian serentak.
“Rumahku, peraturanku,” Jeb mengingatkan. “Jangan pernah lupakan itu. Jadi, dengarkan aku, Kyle. Dan kurasa kau sebaiknya juga mendengarkan, Magnolia. Siapa pun yang mencoba mencederai Wanda lagi, dia tidak akan diadili. Dia akan dimakamkan.” Jeb menepuk gagang senapannya sebagai penegasan.
Aku terkesiap.
Magnolia melotot penuh kebencian pada saudara laki-lakinya. Kyle mengangguk, seakan menerima persyaratan itu.
Jeb memandang ke penonton yang terbagi secara tidak merata, menatap mata setiap anggota, kecuali mata anggota kelompok kecil di sampingku.
“Pengadilan selesai,” ujarnya mengumumkan. “Siapa yang mau main?”



0 comments on "The Host- Bab 35"

Post a Comment